RESENSI BUKU: "Ayah, Aku Rindu"

RESENSI BUKU: "Ayah, Aku Rindu"

 



Judul Buku           : Ayah, Aku Rindu

Penulis                 : S. Gegge Mappangewa

Penyunting          : Ayu Wulan

Penerbit               : PT. Indiva Media Kreasi

Tahun Terbit        : Maret 2020

Harga                  : Rp45.000,00 (Harga Normal di Pulau Jawa);

ISBN                     : 978-602-495-290-7

Dimensi               : 19 cm x 13 cm x 1 cm

Jumlah Halaman : 192 halaman

 

Rudi, seorang remaja yang berbakti pada kedua orang tuanya, harus mengalami kesedihan bertubi-tubi setelah ditinggal mati ibunya, kemudian dia harus terpaksa meninggalkan ayahnya karena sosoknya yang telah “mati” secara mental. Dalam situasi seperti itu ego Rudi untuk terus menjalani hidupnya agar tetap berkualitas demi masa depannya beradu dengan rasa cinta kepada ayahnya sehingga Rudi tidak mau berpisah dengan ayahnya meski itu sangat berbahaya bagi keselamatan Rudi. Di sisi lain, Pak Sadli, guru Rudi di SMA, selalu berada di sisi Rudi dalam berbagai keadaan, sangat membantu Rudi melalui masa-masa sulit Rudi. Pak Sadli lah yang banyak menyimpan semua rahasia mengenai Rudi, bisa dibilang, Pak Sadli lah tokoh kunci dalam alur cerita Rudi di novel ini. Di akhir cerita, Rudi bahkan baru mengetahui mengapa Pak Sadli sangat melindungi Rudi.

Novel setebal 192 halaman ini merupakan salah satu novel seri Gen Z terbitan Indiva. Bisa ditebak dari kata “Gen Z” tersebut bahwa segmen novel ini utamanya ditujukan bagi pembaca remaja. Ada yang unik dalam novel ini, yang mana umumnya kisah tentang remaja itu didominasi oleh bumbu percintaan, namun pada novel ini malah dominan tentang kehilangan dan konflik batin dari tokoh utamanya. Kepiawaian Gegge Mappangewa – pengarang novel ini yang juga beretnis Bugis – mengolah alur maju-mundur yang kerap bergantian, bahkan berubah tiba-tiba dapat membuat pembaca tak hanya menikmati alur cerita namun juga diajak berpikir menyelami berbagai peristiwanya yang saling berkaitan. Secara tidak langsung, pembaca “dipaksa” secara halus untuk membaca detail demi detail 10 hikayat (“bab” dalam novel ini diberi nama “hikayat”), tak terkecuali prolog dan epilognya jika ingin mendapatkan pengalaman cerita yang utuh dari seorang Rudi, tokoh utama dalam novel ini.

Gegge menggunakan sudut pandang orang pertama pada diri Rudi, seorang remaja tanggung kisaran usia akhir pendidikan SMA dan awal pndidikan tinggi. Biasanya, bercerita dengan menggunakan sudut pandang orang pertama (aku), akan membatasi lingkup yang bisa diceritakan dibandingkan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun, Gegge lagi-lagi tetap dapat dengan luwes menggambarkan latar cerita, seperti bagaimana adat Labuesso di Bugis, dan juga sifat-sifat tokoh lainnya, Pak Sadli (guru Rudi), Pak Ramli (ayah Pak Sadli), Pak Gilang (Ayah Rudi), ibu Rudi, ketiga teman akrab Rudi (Ahmadi, Faisal, Nabil), termasuk pada tokoh yang tidak terlalu signifikan berpengaruh pada alur cerita sekalipun, misalnya Paman Syawal, tetap dapat diceritakan karakteristiknya dengan sudut pandang orang pertama. Bahkan, legenda Nenek Mallomo – tokoh legendaris Bugis abad ke-17 – pun dalam alur novel ini sempat-sempatnya bisa diceritakan dengan baik kepada pembaca dengan sudut pandang tersebut.

Tokoh antagonis dan protagonis dibuat menyatu pada diri Rudi. Bahkan, jika dilihat, justru Pak Sadli (guru sekaligus saudara kandung Rudi) lah yang merupakan tokoh protagonis murni, meskipun bukan tokoh utama cerita ini dan ayah Rudi (Pak Gilang) yang walaupun dalam cerita sering melakukan kekerasan kepada Rudi akibat penyakitnya, jika dilihat justru Pak Gilang ini lebih condong sebagai objek cerita daripada sebagai tokoh antagonis. Di situ pula, Gegge berhasil memutarbalikkan situasi penokohan cerita sehingga membuat cerita makin dinamis namun tetap dapat mengerucut pada suatu epilog yang epik. Akhir cerita dibuat happy ending walau hampir 90% alur cerita didominasi oleh kegalauan Rudi menghadapi kondisi ayahnya. Mungkin ini juga untuk memenuhi selera remaja yang pada umumnya lebih senang dengan akhir cerita yang bahagia daripada yang menyedihkan.

Walaupun alur cerita kerap maju-mundur dan tiba-tiba, serta penokohannya yang unik, namun secara garis besar, keseluruhan ceritanya masih termasuk sederhana dan dapat dengan cepat dicerna. Di sinilah menariknya novel ini, walaupun terdapat sedikit logika yang tidak tepat seperti yang terdapat pada Prolog yang secara waktu lebih kini daripada cerita pada Hikayat-1, namun pada Prolog diceritakan ibu Rudi telah meninggal beberapa bulan lalu, namun pada Hikayat-1 ibu Rudi kembali diceritakan telah meninggal sekitar dua tahun lalu. Seharusnya keterangan ibu Rudi yang telah meninggal di Prolog jauh lebih lampau daripada cerita meninggalnya ibu Rudi pada Hikayat-1. Namun, hal ini tidak mengganggu keseluruhan alur cerita.

Menurut Thomas Utomo, dalam artikelnya di Radar Banyumas, 31 Januari 2021, novel “Ayah, Aku Rindu” ini merupakan salah satu kritik S. Gegge Mappangewa terhadap fenomena fatherless, yakni  sebagai ketiadaan peran ayah secara fisik dan psikologis dalam tumbuh-kembang anak. Menurut Kongres Ayah Sedunia 2017, Indonesia menduduki peringkat ketiga fatherless country. Merujuk Harriet Lerner (2011), ketiadaan peran penting ayah berdampak terhadap rendahnya harga diri, muncul perasaan marah dan malu karena berbeda dengan anak-anak lain, kesepian, kecemburuan dan kedukaan, kehilangan yang amat sangat, dan rendahnya kontrol diri.

Akibat dari fenomena fatherless tersebut digambarkan dalam sosok Rudi. Dia malu untuk tampil di antara teman-teman sebayanya di sekolah, tidak ingin bermain bola bersama Ahmadi dan Faisal lagi di lapangan bola tempat mereka biasa bermain bola, bahkan tidak bisa mengendalikan egonya sendiri yang mengakibatkan konflik batin dalam novel tersebut. Seperti pada saat ayah Rudi (Pak Gilang) harus dibawa berobat ke Makassar beberapa waktu lamanya, namun karena sayangnya Rudi dengan ayahnya membuat Rudi enggan melakukan hal itu pada awalnya sebelum dibujuk oleh Pak Sadli. Padahal jika penyakit ayahnya tidak segera diobati, malah bisa membahayakan keselamatan diri dan orang-orang tersayang lainnya di sekitar Rudi. Kritik terhadap fenomena fatherless ini juga pernah diungkapkan Gegge dalam novelnya yang lain, yakni “Sajak Rindu” (IMK, 2017) dan “Sabda Luka” (IMK, 2018).

Harga buku ini dibanderol Rp45.000 untuk area Pulau Jawa. Namun, jika beruntung, pada momen-momen tertentu, penerbit suka memberikan harga promo untuk buku ini di media sosial Instagram penerbit, baik dalam bentuk diskon tunggal (seperti pada event Bazar Sambut Ramadhan 11-31 Maret 2021, harga buku ini Rp35.000) maupun dalam paket bundel dengan buku-buku terbitan Indiva lainnya (seperti pada Paket Buku Juara Kompetisi Menulis Indiva 2019, harga buku ini beserta 3 buku lainnya dalam paket dibanderol Rp125.000. Ini berarti rata-rata harga per bukunya Rp31.250). Ketersebaran buku ini juga sudah sampai ke lokapasar (marketplace) populer.

Secara keseluruhan, novel karangan Alumni Teknik Mesin Universitas Muslim Indonesia, yang saat ini bekerja sebagai penulis dan guru yayasan di Sekolah Islam Terpadu Ashri serta pegiat di Forum Lingkar Pena (FLP) sebagai ketua Divisi Karya periode 2018-2022 ini layak sebagai alternatif bacaan non-fiksi, terutama bagi kalangan remaja. Terdapat nilai-nilai budaya tentang berbakti pada orang tua dan saling mencintai, dan saling menolong di lingkungan sekiitar yang mengedukasi dalam novel ini. Kisahnya yang sederhana membuat para pembaca dapat dengan mudah mencernanya, sementara di sisi lain, alur cerita maju-mundurnya juga dapat menantang pembaca untuk ikut berpikir ketika menyelami ceritanya, yang menjadikannya “bumbu” sehingga cerita pada novel ini tidak hambar. Novel ini juga dinobatkan sebagai Juara 1 pada Kompetisi Menulis Novel Remaja Indiva 2019.

Lihat review di Goodreads