Dalam Islam, Listrik itu Modal atau Komoditi?
Islam
adalah agama fitrah yang tak hanya mengatur persoalan ibadah, namun menyeluruh
ke semua aspek kehidupan, dari bangun tidur sampai dengan tidur kembali, bahkan
hal kegiatan ekonomi pun diatur dalam Islam. Tak terpungkiri pula, jika salah
satu aspek saja mengikuti aturan Islam, insya Allah hasilnya pun baik, berkah
dan bermanfaat untuk banyak orang, bukan hanya muslim saja, para kafir pun
terciprat manfaat dan barokahnya.
Salah
satu hal yang terkait dengan kegiatan ekonomi adalah penyediaan bahan baku
kegiatan ekonomi. Salah satu “bahan baku” tersebut adalah energi, dalam hal ini
saya sempitkan ke energi listrik. Betapa saat ini listrik begitu vitalnya dalam
kehidupan sehari-hari sampai-sampai padam setengah hari sistem kelistrikan di
pulau Jawa tanggal 4 Agustus 2019 silam berimbas pada lumpuhnya banyak kegiatan
ekonomi rakyat, dari UMKM sampai skala industri. Sebenarnya, padam massal
listrik ini (dalam istilah teknisnya disebut blackout), pernah terjadi
di tahun 2002, sebelumnya lagi di tahun 1997. Yang menjadi perhatian di sini, recovery
pada peristiwa padam-padam sebeumnya tersebut dapat dengan cepat, bahkan tidak
sampai setengah hari (saya masih ingat saat padam tahun 2002 sekitar pukul
19.30an WIB, dan tidak sampai tengah malam, listrik di tempat saya sudah norml
menyala kembali). Hal ini ironi dengan padam 4 Agustus 2019 lalu, di saat
teknologi sistem proteksi tenaga listrik smakin berkembang dan sensitif
terhadap gangguan, mengapa recovery menjadi lebih lama?
Sistem
tenaga listrik (STL) sebenarnya itu-itu saja, terdiri dari pembangkitan,
penyaluran, dan distribusi. Keseluruhan sistem ini memunyai proteksi berlapis
terhaadap gangguan, yang filosofi pola proteksinya yakni seminimal mungkin
terjadi blackout dengan sebagaimana sehingga sistem tetap stabil.
Berbagai pemadaman bergilir yang terjadi sebenarnya adalah salah satu upaya
supaya tidak terjadi pemadaman massal. Dan hal ini dilakukan utuk menjaga
keseimbangan pasokan daya (sumber/source/pembangkit) seimbang dengan
pemakaian daya (konsumen/beban/load). Untuk mengendalikan hal tersebut,
di-setting lah proteksi supaya menjaga keseimbangan tersebut. Logikanya,
semakin ke masa kini, teknologi proteksi semakin bagus daripada tahun-tahun
sebelumnya. Namun, penanganan blackout Agustus lalu termasuk buruk
dibandingkan dengan penanganan blackout sebelumnya. Hal ini dapat
terindikasi dari setting proteksi yang dilakukan.
Setting
proteksi secara teknis berprinsip yakni mempertahankan keseimbangan sebagaimana
yang disebut di atas. Namun, dalam aplikasinya, hal non-teknis mengintervensi
juga, seperti prioritas pelanggan yang akan dipadamkan sementara jika terjadi
gangguan sistem. Pada saat normal, tentu prioritas ini akan adil jika diurut
sesuai dengan vitalnya fasilitas yang dipadamkan, misalnya Rumah Sakit, Istana
Negara, Fasilitas Militer ini sebisa mungkin menjadi prioritas terakhir jika
harus dipadamkan. Namun, jika benar-benar emergency, seharusnya yang adil
adalah memberlakukan SOP emergency dengan prinsip menyelamatkan sebanyak
mungkin pasokan listrik ke masyarakat dengan sementara mengorbankan sebagian
kecil pasokan listrik agar tidak padam seluruhnya sampai dengan sistem stabil
kembali. Hal ini memungkinkan dan unggul dalam hal keekonomisan dan
keadilan. Namun, akan menjadi tidak memungkinkan ketika regulasi mulai
mengintervensi agar usaha Tenaga Listrik yang vital ini.
Sejak
UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dikeluarkan, sebenarnya PLN
bukan lagi pemegang monopoli usaha ketenagalistrikan. Banyak pasal yang
memberikan peluang swasta ikut mengelola sektor yang menguasai hajat hidup
orang banyak ini, padahal semangat dibentuknya BUMN menguaai sektor-sektor
strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak ini adalah implementasi dari
UUD 1945 Pasal 33. Hal ini yang kemudian timbul yang namanya pelanggan premium dan
pembangkit swasta, yang harus diprioritaskan apapun kondisinya, bahkan saat
sistem terganggu pun mereka harus tetap menyala. Kondisi ini dapat membuat
kedaulatan dan ketahanan energi Indonesia menjadi lemah.
Berbeda
sekali dengan aturan islam. Islam memiliki aturan yang paripurna (kaffah),
karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah subhanahuwata'ala yang
menciptakan manusia dan semesta alam ini. Listrik merupakan hajat hidup orang
banyak maka berapapun harganya pasti dibeli meski dengan layanan seadanya.
Mengingat
begitu lamanya krisis listrik yang terjadi, menjadi bukti kelalaian pemerintah
menyelesaikan masalah ini. Rakyat mengalami kesengsaraan yang luar biasa. Seharusnya negara
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat hidup orang banyak.
Dalam pandangan Islam, listrik merupakan milik
umum, dilihat dari 2 aspek :
1. Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar
masuk dalam kategori ’api (energi)’ yang merupakan milik umum. Nabi Muhammad
saw bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara:
padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi)." [HR Ahmad].
Termasuk dalam kategori api (energi) tersebut adalah
berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu,
mesin pembangkit, dan sebagainya
2. Sumber
energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta
sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas
dan batu bara merupakan juga milik umum.
Abyadh bin Hammal ra. bercerita: "Ia pernah
datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rosulullah
memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu
berkata kepada Rosulullah, “Ya Rosulullah, tahukah Anda apa yang Anda berikan,
tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Kemudian
Rosulullah menarik pemberiannya dari Abyadh bin Hammal." [HR Abu Dawud,
at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban].
Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan
garam itu sendiri. Awalnya Rosul saw. memberikan tambang garam itu kepada
Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu bahwa tambang itu seperti
"laksana air yang terus mengalir", maka Rosulullah menariknya kembali
dari Abyadh. "Laksana air yang terus mengalir" artinya adalah cadangannya
besar sekali. Sehingga menjadi milik umum. Karena milik umum, bahan tambang
seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersil baik oleh perusahaan
milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil
olahannya seperti listrik.
Dengan
demikian, listrik semestinya tidak boleh
pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta apapun alasannya. Negara
bertanggung-jawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi
kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga
murah bahkan gratis (jika memungkinkan) untuk seluruh rakyat baik kaya atau
miskin, muslim maupun non muslim.
Dengan
prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, Indonesia dengan sumber energi
primer yang melimpah terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga
yang melangit.
"Hai orang-orang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa Allah menguasai hati
manusia, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan." [Al
Quran, 8:24].
Wallahu a’lam bis shawab.
Referensi:
- APEII.
- UU No. 30 tahun 2009